Alangkah baiknya jika kita melihat dalil-dalil
yang dimaksudkan, beserta perkataan para ulama masa silam mengenai hukum
nyanyian karena mungkin di antara kita ada yang masih gandrung
dengannya. Maka, dengan ditulisnya risalah ini, semoga Allah membuka hati kita
dan memberi hidayah kepada kita seperti yang didapatkan si fulan tadi. Allahumma
a’in wa yassir (Ya Allah, tolonglah dan mudahkanlah).
Beberapa Ayat Al Qur’an
yang Membicarakan “Nyanyian”
Pertama: Nyanyian
dikatakan sebagai “lahwal hadits” (perkataan yang tidak berguna)
Allah Ta’ala berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ
الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا
هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ آيَاتُنَا
وَلَّى مُسْتَكْبِرًا كَأَنْ لَمْ يَسْمَعْهَا كَأَنَّ فِي أُذُنَيْهِ وَقْرًا
فَبَشِّرْهُ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
“Dan di antara manusia (ada)
orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk
menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan
Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. Dan
apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami dia berpaling dengan menyombongkan
diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua
telinganya; maka beri kabar gembiralah padanya dengan azab yang pedih.”
(QS. Luqman: 6-7)
Ibnu Jarir Ath Thabariy -rahimahullah- dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa para
pakar tafsir berselisih pendapat apa yang dimaksud dengan لَهْوَ
الْحَدِيثِ “lahwal hadits” dalam ayat tersebut. Sebagian mereka
mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah nyanyian dan mendengarkannya. Lalu
setelah itu Ibnu Jarir menyebutkan beberapa perkataan ulama salaf
mengenai tafsir ayat tersebut. Di antaranya adalah dari Abu Ash Shobaa’ Al
Bakri –rahimahullah-. Beliau mengatakan bahwa dia mendengar Ibnu
Mas’ud ditanya mengenai tafsir ayat tersebut, lantas beliau –radhiyallahu
‘anhu- berkata,
الغِنَاءُ، وَالَّذِي لاَ إِلَهَ
إِلاَّ هُوَ، يُرَدِّدُهَا ثَلاَث َمَرَّاتٍ.
“Yang dimaksud adalah nyanyian,
demi Dzat yang tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi selain Dia.”
Beliau menyebutkan makna tersebut sebanyak tiga kali.[1]
Penafsiran senada disampaikan oleh Mujahid,
Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah, dan Qotadah. Dari Ibnu Abi
Najih, Mujahid berkata bahwa yang dimaksud lahwu hadits
adalah bedug (genderang).[2]
Asy Syaukani dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Lahwal hadits
adalah segala sesuatu yang melalaikan seseorang dari berbuat baik. Hal itu bisa
berupa nyanyian, permainan, cerita-cerita bohong dan setiap kemungkaran.” Lalu,
Asy Syaukani menukil perkataan Al Qurtubhi yang mengatakan bahwa
tafsiran yang paling bagus untuk makna lahwal hadits adalah nyanyian.
Inilah pendapat para sahabat dan tabi’in.[3]
Jika ada yang mengatakan, “Penjelasan tadi kan hanya penafsiran sahabat, bagaimana
mungkin bisa jadi hujjah (dalil)?”
Maka, cukup kami katakan bahwa
tafsiran sahabat terhadap suatu ayat bisa menjadi hujjah, bahkan
bisa dianggap sama dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
(derajat marfu’). Simaklah perkataan Ibnul Qayyim setelah
menjelaskan penafsiran mengenai “lahwal hadits” di atas sebagai berikut,
“Al Hakim Abu ‘Abdillah dalam
kitab tafsirnya di Al Mustadrok mengatakan bahwa seharusnya setiap orang
yang haus terhadap ilmu mengetahui bahwa tafsiran sahabat –yang mereka ini
menyaksikan turunnya wahyu- menurut Bukhari dan Muslim dianggap
sebagai perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di tempat lainnya,
beliau mengatakan bahwa menurutnya, penafsiran sahabat tentang suatu ayat sama
statusnya dengan hadits marfu’ (yang sampai pada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam).” Lalu, Ibnul Qayyim mengatakan, “Walaupun itu
adalah penafsiran sahabat, tetap penafsiran mereka lebih didahulukan daripada
penafsiran orang-orang sesudahnya. Alasannya, mereka adalah umat yang
paling mengerti tentang maksud dari ayat yang diturunkan oleh Allah karena Al
Qur’an turun di masa mereka hidup”.[4]
Jadi, jelaslah bahwa pemaknaan لَهْوَ
الْحَدِيثِ /lahwal hadits/ dengan nyanyian patut kita
terima karena ini adalah perkataan sahabat yang statusnya bisa sama dengan
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua: Orang-orang
yang bernyanyi disebut “saamiduun”
Allah Ta’ala berfirman,
أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ
تَعْجَبُونَ , وَتَضْحَكُونَ وَلا تَبْكُونَ , وَأَنْتُمْ سَامِدُونَ
, فَاسْجُدُوا لِلَّهِ وَاعْبُدُوا
“Maka, apakah kamu merasa heran
terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis? Sedang
kamu saamiduun? Maka, bersujudlah kepada Allah dan sembahlah
(Dia).” (QS. An Najm: 59-62)
Apa yang dimaksud سَامِدُونَ
/saamiduun/?
Menurut salah satu pendapat, makna saamiduun
adalah bernyanyi dan ini berasal dari bahasa orang Yaman. Mereka biasa
menyebut “ismud lanaa” dan maksudnya adalah: “Bernyanyilah untuk kami”.
Pendapat ini diriwayatkan dari ‘Ikrimah dan Ibnu ‘Abbas.[5]
‘Ikrimah mengatakan, “Mereka biasa mendengarkan Al Qur’an, namun
mereka malah bernyanyi. Kemudian turunlah ayat ini (surat An Najm di atas).”[6]
Jadi, dalam dua ayat ini teranglah
bahwa mendengarkan “nyanyian” adalah suatu yang dicela dalam Al
Qur’an.
Perkataan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam Mengenai Nyanyian
Hadits Pertama
Bukhari membawakan dalam Bab “Siapa yang menghalalkan khomr dengan
selain namanya” sebuah riwayat dari Abu ‘Amir atau Abu Malik Al
Asy’ari telah menceritakan bahwa dia tidak berdusta, lalu dia menyampaikan
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ
يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ ،
وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ
لَهُمْ ، يَأْتِيهِمْ – يَعْنِى الْفَقِيرَ – لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا ارْجِعْ
إِلَيْنَا غَدًا . فَيُبَيِّتُهُمُ اللَّهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ ، وَيَمْسَخُ
آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Sungguh, benar-benar akan ada di
kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan
alat musik. Dan beberapa kelompok orang akan singgah di lereng gunung dengan
binatang ternak mereka. Seorang yang fakir mendatangi mereka untuk suatu
keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami esok hari.’ Kemudian
Allah mendatangkan siksaan kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka
serta Allah mengubah sebagian mereka menjadi kera dan babi hingga hari kiamat.”[7]
Jika dikatakan menghalalkan musik, berarti musik itu haram.
Hadits di atas dinilai shahih oleh
banyak ulama, di antaranya adalah: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al
Istiqomah (1/294) dan Ibnul Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan
(1/259). Penilaian senada disampaikan An Nawawi, Ibnu Rajab Al
Hambali, Ibnu Hajar dan Asy Syaukani –rahimahumullah-.
Memang, ada sebagian ulama semacam Ibnu
Hazm dan orang-orang yang mengikuti pendapat beliau sesudahnya seperti Al
Ghozali yang menyatakan bahwa hadits di atas memiliki cacat sehingga
mereka pun menghalalkan musik. Alasannya, mereka mengatakan bahwa sanad hadits
ini munqothi’ (terputus) karena Al Bukhari tidak memaushulkan
sanadnya (menyambungkan sanadnya). Untuk menyanggah hal ini, kami akan
kemukakan 5 sanggahan sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah:
Pertama, Al Bukhari betul bertemu dengan Hisyam bin ‘Ammar
dan beliau betul mendengar langsung darinya. Jadi, jika Al Bukhari mengatakan
bahwa Hisyam berkata, itu sama saja dengan perkataan Al
Bukhari langsung dari Hisyam.
Kedua, jika Al Bukhari belum pernah mendengar hadits itu dari
Hisyam, tentu Al Bukhari tidak akan mengatakan dengan lafazh jazm
(tegas). Jika beliau mengatakan dengan lafazh jazm, sudah pasti beliau
mendengarnya langsung dari Hisyam. Inilah yang paling mungkin, karena sangat
banyak orang yang meriwayatkan (hadits) dari Hisyam. Hisyam adalah guru
yang sudah sangat masyhur. Adapun Al Bukhari adalah hamba yang sangat tidak
mungkin melakukan tadlis (kecurangan dalam periwayatan).
Ketiga, Al Bukhari memasukkan hadits ini dalam kitabnya yang
disebut dengan kitab shahih, yang tentu saja hal ini bisa
dijadikan hujjah (dalil). Seandainya hadits tersebut tidaklah shahih
menurut Al Bukhari, lalu mengapa beliau memasukkan hadits tersebut dalam kitab
shahih?
Keempat, Al Bukhari membawakan hadits ini secara mu’allaq
(di bagian awal sanad ada yang terputus). Namun, di sini beliau menggunakan
lafazh jazm (pasti, seperti dengan kata qoola yang artinya dia
berkata) dan bukan tamridh (seperti dengan kata yurwa atau yudzkaru,
yang artinya telah diriwayatkan atau telah disebutkan). Jadi, jika Al Bukhari
mengatakan, “Qoola: qoola Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam [dia
mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
...]”, maka itu sama saja beliau mengatakan hadits tersebut disandarkan pada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kelima, seandainya berbagai alasan di atas kita buang, hadits ini
tetaplah shahih dan bersambung karena dilihat dari jalur
lainnya, sebagaimana akan dilihat pada hadits berikutnya.[8]
Hadits Kedua
Dari Abu Malik Al Asy’ari,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيَشْرَبَنَّ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِى
الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا يُعْزَفُ عَلَى رُءُوسِهِمْ
بِالْمَعَازِفِ وَالْمُغَنِّيَاتِ يَخْسِفُ اللَّهُ بِهِمُ الأَرْضَ وَيَجْعَلُ
مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ
“Sungguh, akan ada orang-orang
dari umatku yang meminum khamr, mereka menamakannya dengan selain namanya.
Mereka dihibur dengan musik dan alunan suara biduanita. Allah akan membenamkan
mereka ke dalam bumi dan Dia akan mengubah bentuk mereka menjadi kera dan babi.”[9]
Hadits Ketiga
Dari Nafi’ –bekas budak Ibnu
‘Umar-, beliau berkata,
عُمَرَ سَمِعَ ابْنُ عُمَرَ صَوْتَ
زَمَّارَةِ رَاعٍ فَوَضَعَ إِصْبَعَيْهِ فِى أُذُنَيْهِ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ عَنِ
الطَّرِيقِ وَهُوَ يَقُولُ يَا نَافِعُ أَتَسْمَعُ فَأَقُولُ نَعَمْ. قَالَ
فَيَمْضِى حَتَّى قُلْتُ لاَ. قَالَ فَوَضَعَ يَدَيْهِ وَأَعَادَ الرَّاحِلَةَ إِلَى
الطَّرِيقِ وَقَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَسَمِعَ
صَوْتَ زَمَّارَةِ رَاعٍ فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا
Ibnu ‘Umar pernah mendengar suara seruling dari seorang pengembala,
lalu beliau menyumbat kedua telinganya dengan kedua jarinya. Kemudian beliau
pindah ke jalan yang lain. Lalu Ibnu ‘Umar berkata, “Wahai Nafi’, apakah kamu
masih mendengar suara tadi?” Aku (Nafi’) berkata, “Iya, aku masih
mendengarnya.”
Kemudian, Ibnu ‘Umar terus berjalan.
Lalu, aku berkata, “Aku tidak mendengarnya lagi.”
Barulah setelah itu Ibnu ‘Umar
melepaskan tangannya dari telinganya dan kembali ke jalan itu lalu berkata,
“Beginilah aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
mendengar suara seruling dari seorang pengembala. Beliau melakukannya seperti
tadi.”[10]
Keterangan Hadits
Dari dua hadits pertama, dijelaskan
mengenai keadaan umat Islam nanti yang akan menghalalkan musik,berarti
sebenarnya musik itu haram kemudian ada yang menganggap halal. Begitu pula pada
hadits ketiga yang menceritakan kisah Ibnu ‘Umar bersama Nafi’. Ibnu ‘Umar
mencontohkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal yang
sama dengannya yaitu menjauhkan manusia dari mendengar musik. Hal ini
menunjukkan bahwa musik itu jelas-jelas terlarang.
Jika ada yang mengatakan bahwa
sebenarnya yang dilakukan Ibnu ‘Umar tadi hanya menunjukkan bahwa itu adalah
cara terbaik dalam mengalihkan manusia dari mendengar suara nyanyian atau alat
musik, namun tidak sampai menunjukkan keharamannya, jawabannya adalah
sebagaimana yang dikatakan Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni (julukan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah) rahimahullah berikut ini,
اللَّهُمَّ إلَّا أَنْ يَكُونَ فِي
سَمَاعِهِ ضَرَرٌ دِينِيٌّ لَا يَنْدَفِعُ إلَّا بِالسَّدِّ
“Demi Allah, bahkan mendengarkan
nyanyian (atau alat musik) adalah bahaya yang mengerikan pada agama seseorang,
tidak ada cara lain selain dengan menutup jalan agar tidak mendengarnya.”[11]
Kalam Para Ulama Salaf
Mengenai Nyanyian (Musik)
Ibnu Mas’ud mengatakan, “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati
sebagaimana air menumbuhkan sayuran.”
Al Qasim bin Muhammad pernah ditanya tentang nyanyian, lalu beliau menjawab, “Aku
melarang nyanyian padamu dan aku membenci jika engkau mendengarnya.” Lalu
orang yang bertanya tadi mengatakan, “Apakah nyanyian itu haram?”
Al Qasim pun mengatakan,”Wahai anak saudaraku, jika Allah telah
memisahkan yang benar dan yang keliru, lantas pada posisi mana Allah meletakkan
‘nyanyian’?”
‘Umar bin ‘Abdul Aziz pernah menulis surat kepada guru yang mengajarkan anaknya,
isinya adalah, ”Hendaklah yang pertama kali diyakini oleh anak-anakku dari
budi pekertimu adalah kebencianmu pada nyanyian. Karena nyanyian itu berasal
dari setan dan ujung akhirnya adalah murka Allah. Aku mengetahui dari para
ulama yang terpercaya bahwa mendengarkan nyanyian dan alat musik serta gandrung
padanya hanya akan menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air
menumbuhkan rerumputan. Demi Allah, menjaga diri dengan meninggalkan nyanyian
sebenarnya lebih mudah bagi orang yang memiliki kecerdasan daripada bercokolnya
kemunafikan dalam hati.”
Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Nyanyian adalah mantera-mantera zina.”
Adh Dhohak mengatakan, “Nyanyian itu akan merusak hati dan akan
mendatangkan kemurkaan Allah.”
Yazid bin Al Walid mengatakan, “Wahai anakku, hati-hatilah kalian dari
mendengar nyanyian karena nyanyian itu hanya akan mengobarkan hawa nafsu,
menurunkan harga diri, bahkan nyanyian itu bisa menggantikan minuman keras yang
bisa membuatmu mabuk kepayang. … Ketahuilah, nyanyian itu adalah pendorong
seseorang untuk berbuat zina.”[12]
Empat Ulama Madzhab
Mencela Nyanyian
- Imam Abu Hanifah. Beliau
membenci nyanyian dan menganggap mendengarnya sebagai suatu perbuatan
dosa.[13]
- Imam Malik bin Anas.
Beliau berkata, “Barangsiapa membeli budak lalu ternyata budak tersebut
adalah seorang biduanita (penyanyi), maka hendaklah dia kembalikan budak
tadi karena terdapat ‘aib.”[14]
- Imam Asy Syafi’i.
Beliau berkata, “Nyanyian adalah suatu hal yang sia-sia yang tidak
kusukai karena nyanyian itu adalah seperti kebatilan. Siapa saja yang
sudah kecanduan mendengarkan nyanyian, maka persaksiannya tertolak.”[15]
- Imam Ahmad bin Hambal. Beliau berkata, “Nyanyian itu menumbuhkan
kemunafikan dalam hati dan aku pun tidak menyukainya.”[16]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
“Tidak ada satu pun dari empat ulama madzhab yang berselisih pendapat mengenai
haramnya alat musik.”[17]
Bila Engkau Sudah
Tersibukkan dengan Nyanyian dan Nasyid
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan pelajaran yang sangat berharga. Beliau
mengatakan,
“Seorang hamba jika sebagian
waktunya telah tersibukkan dengan amalan yang tidak disyari’atkan, dia pasti
akan kurang bersemangat dalam melakukan hal-hal yang disyari’atkan dan
bermanfaat. Hal ini jauh berbeda dengan orang yang mencurahkan usahanya untuk melakukan
hal yang disyari’atkan. Pasti orang ini akan semakin cinta dan semakin
mendapatkan manfaat dengan melakukan amalan tersebut, agama dan islamnya pun
akan semakin sempurna.”
Lalu, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah mengatakan, ”Oleh karena itu, banyak sekali orang yang terbuai
dengan nyanyian (atau syair-syair) yang tujuan semula adalah untuk menata hati.
Maka, pasti karena maksudnya, dia akan semakin berkurang semangatnya dalam
menyimak Al Qur’an. Bahkan sampai-sampai dia pun membenci untuk mendengarnya.”[18]
Jadi, perkataan Ahmad bin Abdul
Halim Al Haroni (yang dijuluki Syaikhul Islam) memang betul-betul terjadi
pada orang-orang yang sudah begitu gandrung dengan nyanyian, gitar dan bahkan
dengan nyanyian “Islami” (yang disebut nasyid). Tujuan mereka mungkin adalah
untuk menata hati. Namun, sayang seribu sayang, jalan yang ditempuh adalah
jalan yang keliru karena hati mestilah ditata dengan hal-hal yang masyru’ (disyariatkan)
dan bukan dengan hal-hal yang tidak masyru’, yang membuat kita sibuk dan
lalai dari kalam Robbul ‘alamin yaitu Al Qur’an.
Tentang nasyid yang dikenal di
kalangan sufiyah dan bait-bait sya’ir, Syaikhul Islam mengatakan,
“Oleh karena itu, kita dapati pada
orang-orang yang kesehariannya dan santapannya tidak bisa lepas dari nyanyian,
mereka pasti tidak akan begitu merindukan lantunan suara Al Qur’an. Mereka pun
tidak begitu senang ketika mendengarnya. Mereka tidak akan merasakan kenikmatan
tatkala mendengar Al Qur’an dibanding dengan mendengar bait-bait sya’ir
(nasyid). Bahkan ketika mereka mendengar Al Qur’an, hatinya pun menjadi lalai,
begitu pula dengan lisannya akan sering keliru.”[19]
Adapun melatunkan bait-bait syair
(alias nasyid) asalnya dibolehkan, namun tidak berlaku secara mutlak.
Melatunkan bait syair (nasyid) yang dibolehkan apabila memenuhi beberapa syarat
berikut:
- Bukan lantunan yang mendayu-dayu sebagaimana yang
diperagakan oleh para wanita.
- Nasyid tersebut tidak sampai melalaikan dari mendengar
Al Qur’an.
- Nasyid tersebut terlepas dari nada-nada yang dapat
membuat orang yang mendengarnya menari dan berdansa.
- Tidak diiringi alat musik.
- Maksud mendengarkannya bukan mendengarkan nyanyian dan
nadanya, namun tujuannya adalah untuk mendengar nasyid (bait syair).
- Diperbolehkan bagi wanita untuk memukul rebana pada
acara-acara yang penuh kegembiraan dan masyru’ (disyariatkan) saja.[20]
- Maksud nasyid ini adalah untuk memberi dorongan
semangat ketika keletihan atau ketika berjihad.
- Tidak sampai melalaikan dari yang wajib atau melarang
dari kewajiban.[21]
Penutup
Kami hanya ingin mengingatkan bahwa
pengganti nyanyian dan musik adalah Al Qur’an. Dengan membaca, merenungi, dan
mendengarkan lantunan Al-Qur’anlah hati kita akan hidup dan tertata karena
inilah yang disyari’atkan.
Ingatlah bahwa Al Qur’an dan musik
sama sekali tidak bisa bersatu dalam satu hati. Kita bisa memperhatikan
perkataan murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yaitu Ibnul Qayyim
rahimahullah. Beliau mengatakan, “Sungguh nyanyian dapat memalingkan hati
seseorang dari memahami, merenungkan dan mengamalkan isi Al Qur’an. Ingatlah,
Al Qur’an dan nyanyian selamanya tidaklah mungkin bersatu dalam satu hati
karena keduanya itu saling bertolak belakang. Al Quran melarang kita untuk
mengikuti hawa nafsu, Al Qur’an memerintahkan kita untuk menjaga kehormatan
diri dan menjauhi berbagai bentuk syahwat yang menggoda jiwa. Al Qur’an
memerintahkan untuk menjauhi sebab-sebab seseorang melenceng dari kebenaran dan
melarang mengikuti langkah-langkah setan. Sedangkan nyanyian memerintahkan pada
hal-hal yang kontra (berlawanan) dengan hal-hal tadi.”[22]
Dari sini, pantaskah Al Qur’an
ditinggalkan hanya karena terbuai dengan nyanyian? Ingatlah, jika seseorang
meninggalkan musik dan nyanyian, pasti Allah akan memberi ganti dengan yang
lebih baik.
إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً لِلَّهِ
عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ
“Sesungguhnya jika engkau
meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu
dengan sesuatu yang lebih baik.”[23]
Tatkala Allah memerintahkan pada
sesuatu dan melarang dari sesuatu pasti ada maslahat dan manfaat di balik itu
semua. Sibukkanlah diri dengan mengkaji ilmu dan mentadaburri Al Quran, niscaya
perlahan-lahan perkara yang tidak manfaat semacam nyanyian akan ditinggalkan.
Semoga Allah membuka hati dan memberi hidayah bagi setiap orang yang membaca
risalah ini.
Washallallahu ‘ala nabiyyina
Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in. Walhamdulillahi robbil ‘alamin.
***
Disempurnakan di Pangukan-Sleman, 16
Rabi’ul Awwal 1431 H (02/03/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal